Selasa, 30 Juli 2013
Senin, 29 Juli 2013
Sabtu, 27 Juli 2013
Kamis, 25 Juli 2013
Strategi Politik
Pemenangan Pemilu Legislatif
Tahun 2014
by. Lubis Henderi, S. Si
I. PENDAHULUAN
A.
Pemenangan
Pemilu Legislatif
Perumusan grand
design merupakan langkah strategis guna menentukan pondasi, arah dan
strategi yang akan dilakukan untuk mencapai tujuan dan target, yang telah
ditentukan sesuai dengan potensi dan kondisi partai/kandidat. Grand design
menjadi pemandu para pihak yang berkepentingan di partai dalam melakukan
ejawantah kebijakan politik dan taktis strategis dalam kerangka politik yang
menjamin keteraturan kampanye secara etika partai dan kanal politik yang
disepakati bersama.
B.
Tujuan
Penyusunan grand
design ditujukan untuk memberikan arahan yang jelas, efesien dan terukur
kepada setiap pihak yang terlibat langsung maupun tidak langsung dalam proses
pemenangan kandidat dalam Pemilu Legislatif secara maksimal dan dengan sumber
daya yang bisa dipertanggungjawabkan.
C.
Output
Diperoleh
gambaran menyeluruh tentang grand design tentang pola, metoda, strategi,
kebutuhan, serta action plan yang berisi program dan kegiatan yang
berkenaan langsung dengan pemenengan kandidat di Pemilu Legislatif.
D.
Grand Design
Action
Dalam
menyusun grand design terdapat tahapan kegiatan perumusan yang harus
dilakukan antara lain:
1. Collecting and data analysis (bank data) yang bertujuan untuk menghimpun
data-data yang dibutuhkan dari berbagai sudut pandang seperti internal partai,
eksternal partai, riset, calon kompetitor, kelembagaan pemilu, sosial budaya
masyarakat, perangkat politik, aturan politik, dan lainnya guna menentukan
kekuatan dan kelemahan calon dalam persiapan Pemilu Legislatif Kota.
2. Formulasi visi dan misi kampanye untuk menentukan platform,
program dan isu calon.
3. Penentuan political positioning
dan segmentasi dari
calon yang berhubungan erat posisi politik calon dalam isu, kebijakan, dan
dukungan sosial masyarat guna menentukan segmentasi pemilih yang akan dijadikan
target baik secara umum, daerah pemilihan maupun individu.
4. Formulasi Strategi political
marketer yang
merupakan perumusan strategi untuk menjual calon/kandidat melalui rumusan
berbentuk Agregasi Politik, Pemetaan Pemilih, Soliciting, Brand Image
(termasuk media), Jejaring, Pola Kerja dan Manajemen Tim Pemenangan, Fund
Raising, dan Political Agent.
5.
Fasilitating for Strategy yang bertujuan untuk menentukan strategi secara makro
dalam kampanye calon secara umum, dapil maupun individu.
Gambar 1. Alur Tahapan
pembuatan grand Design Pemenangan Pemilu Legislatif
II.
STRATEGI PEMENANGAN PEMILU
LEGISLATIF
A.
Internal Action
Pembuatan
tim pemenangan. Tim pemenangan akan mengorganisir segala kebutuhan
pencalonan kandidat, pemetaan kekuatan politik, perencanaan pencalonan, dan marketing
kandidat. Tim pemenangan terbagi dalam beberapa bagian yang penting:
1) survei popularitas kandidat dan perencanaan kampanye, 2) penggalangan
dana, 3) hukum dan pemantauan pemilu legislatif, 4) pencitraan kandidat, 5)
penguatan mesin politik (training), dan 6) kampanye dan media massa.
B.
Survei untuk
Pemetaan Kekuatan Politik
Ada beberapa
alasan yang mendasari pentingnya pelaksanaan survei pra-Pemilu Legislatif,
yaitu: (1) Pemilu Legislatif adalah proses demokrasi yang dapat diukur,
dikalkulasi, dan diprediksi dalam proses maupun hasilnya, (2) Survei merupakan
salah satu pendekatan penting dan lazim dilakukan untuk mengukur,
mengkalkulasi, dan memprediksi bagaimana proses dan hasil Pemilu Legislatif
yang akan berlangsung, terutama menyangkut peluang kandidat, (3) Sudah masanya
meraih kemenangan dalam Pemilu Legislatif berdasarkan data empirik, ilmiah,
terukur, dan dapat diuji.
C.
Follow
up Hasil Survei.
Follow up hasil
survei menjadi agenda kerja tim Pemenangan yaitu:
a) Penguatan mesin politik
Riset dapat mengetahui mesin politik
yang paling dekat dengan massa i.e. lembaga keagamaan, lembaga kemasyarakatan,
LSM, dll. Tugas tim Pemenangan khususnya bagian training adalah
melakukan penguatan terhadap mesin politik tersebut agar menjadi vote getter
yang efektif.
b) Candidat
positioning
Riset
dapat menggambarkan citra kandidat yang diharapkan, dan agenda kerja yang
diinginkan. Dari hasil riset ini tim Pemenangan, khususnya bagian pencitraan,
dapat merencanakan citra dan posisi kandidat agar sesuai dengan keinginan
pemilih.
c) Marketing
Riset
dapat mengetahui posisi kandidat di mata masyarakat, citra calon yang
diinginkan masyarakat, agenda kerja yang diinginkan masyarakat. Tim Pemenangan
(bagian kampanye dan media massa) harus memfollow-up dengan membuat visi
misi, membuat materi kampanye, strategi kampanye, dan merencanakan media
kampanye.
D.
Creative Media Design
a. Analisis Strategi Kampanye
calon/Kandidat secara umum, dapil dan individu
b. Design
Creative terdiri dari
Penentuan Tagline, Advertising untuk media tv, radio,
cetak dan portal internet, Media Luar Ruang, Campaign Kits, Pembuatan dan pengelolaan situs web kandidat ,
dan Pengelolaan facebook, friendster,
flicker, dan jejaring pertemanan di dunia maya lainnya
c.
Data Center
Kampanye Kompetitor
Direct Buying Media dan
Placement
PEMILIHAN UMUM (PEMILU) dan DEMOKRASI INDONESIA
PEMILIHAN
UMUM (PEMILU) dan DEMOKRASI INDONESIA
Oleh
: Lubis Henderi, S. Si*
1.
PENDAHULUAN
Pasang surut kehidupan politik pasca
kemerdekaan merupakan dinamika sejarah, sebagai bangsa muda yang ingin meraih
cita-cita sebagai bangsa besar yang bermartabat di tengah pergaulan dunia.
Bahkan pada awal-awal gerakan kemerdekaan di dua benua Asia dan Afrika,
Indonesia berada di garda depan perjuangan membebaskan diri bangsa-bangsa di
wilayah tersebut untuk lepas dari bangsa-bangsa Eropa. Secara inspiratif
kemerdekaan Amerika Serikat dengan system demokrasi yang dianutnya menjadi
bagian dari warna cita–cita pejuang muda Indonesia untuk membangun negeri ini.
Jatuh bangun pemerintahan dan eksperimen demokrasi menjadi bagian dari
pergulatan sejarah yang kadang diwarnai dengan benturan pemahaman dan
kepentingan di antara komponen bangsa.
Pemilu 1955, merupakan pemilu yang pertama
dalam sejarah bangsa Indonesia. Waktu itu Republik Indonesia berusia 10 tahun.
Kalau dikatakan pemilu merupakan syarat minimal bagi adanya demokrasi, apakah
berarti selama 10 tahun itu Indonesia benar-benar tidak demokratis? Tidak mudah
juga menjawab pertanyaan tersebut.
Yang jelas, sebetulnya sekitar tiga
bulan setelah kemerdekaan dipro-klamasikan oleh Soekarno dan Hatta pada 17
Agustus 1945, pemerin-tah waktu itu sudah menyatakan keinginannya untuk bisa
menyele-nggarakan pemilu pada awal tahun 1946. Hal itu dicantumkan dalam
Maklumat X, atau Maklumat Wakil Presiden Mohammad Hatta tanggal 3 Nopember
1945, yang berisi anjuran tentang pembentukan par-tai-partai politik. Maklumat
tersebut menyebutkan, pemilu untuk me-milih anggota DPR dan MPR akan
diselenggarakan bulan Januari 1946. Kalau kemudian ternyata pemilu pertama
tersebut baru terselenggara hampir sepuluh tahun setelah kemudian tentu bukan
tanpa sebab.
Tetapi, berbeda dengan tujuan yang
dimaksudkan oleh Maklumat X, pemilu 1955 dilakukan dua kali. Yang pertama, pada
29 September 1955 untuk memlih anggota-anggota DPR. Yang kedua, 15 Desember
1955 untuk memilih anggota-anggota Dewan Konstituante. Dalam Maklumat X hanya
disebutkan bahwa pemilu yang akan diadakan Januari 1946 adalah untuk memilih
angota DPR dan MPR, tidak ada Konstituante.
Keterlambatan dan “penyimpangan”
tersebut bukan tanpa sebab pula. Ada kendala yang bersumber dari dalam negeri
dan ada pula yang berasal dari faktor luar negeri. Sumber penyebab dari dalam
antara lain ketidaksiapan pemerintah menyelenggarakan pemilu, baik karena belum
tersedianya perangkat perundang-undangan untuk mengatur penyelenggaraan pemilu
maupun akibat rendahnya stabilitas keamanan negara. Dan yang tidak kalah
pentingnya, penyebab dari dalam itu adalah sikap pemerintah yang enggan
menyelenggarakan perkisaran (sirkulasi) kekuasaan secara teratur dan
kompetitif. Penyebab dari luar antara lain serbuan kekuatan asing yang
mengharuskan negara ini terlibat peperangan.
Tidak terlaksananya pemilu pertama
pada bulan Januari 1946 seperti yang diamanatkan oleh Maklumat 3 Nopember 1945,
paling tidak disebabkan 2 (dua) hal :
1. Belum siapnya pemerintah baru,
termasuk dalam penyusunan perangkat UU Pemilu;
2. Belum stabilnya kondisi keamanan
negara akibat konflik internal antar kekuatan politik yang ada pada waktu itu,
apalagi pada saat yang sama gangguan dari luar juga masih mengancam. Dengan
kata lain para pemimpin lebih disibukkan oleh urusan konsolidasi.
Namun, tidaklah berarti bahwa selama
masa konsolidasi kekuatan bangsa dan perjuangan mengusir penjajah itu,
pemerintah kemudian tidak berniat untuk menyelenggarakan pemilu. Ada indikasi
kuat bahwa pemerintah punya keinginan politik untuk menyelengga-rakan pemilu.
Misalnya adalah dibentuknya UU No. UU No 27 tahun 1948 tentang Pemilu, yang
kemudian diubah dengan UU No. 12 tahun 1949 tentang Pemilu. Di dalam UU No
12/1949 diamanatkan bahwa pemilihan umum yang akan dilakukan adalah bertingkat
(tidak langsung). Sifat pemilihan tidak langsung ini didasarkan pada alasan
bahwa mayoritas warganegara Indonesia pada waktu itu masih buta huruf, sehingga
kalau pemilihannya langsung dikhawatirkan akan banyak terjadi distorsi.
Kemudian pada paroh kedua tahun
1950, ketika Mohammad Natsir dari Masyumi menjadi Perdana Menteri, pemerintah
memutuskan untuk menjadikan pemilu sebagai program kabinetnya. Sejak itu
pembahasan UU Pemilu mulai dilakukan lagi, yang dilakukan oleh Panitia Sahardjo
dari Kantor Panitia Pemilihan Pusat sebelum kemudian dilanjutkan ke parlemen.
Pada waktu itu Indonesia kembali menjadi negara kesatuan, setelah sejak 1949
menjadi negara serikat dengan nama Republik Indonesia Serikat (RIS).
Setelah Kabinet Natsir jatuh 6 bulan
kemudian, pembahasan RUU Pemilu dilanjutkan oleh pemerintahan Sukiman
Wirjosandjojo, juga dari Masyumi. Pemerintah ketika itu berupaya
menyelenggarakan pemilu karena pasal 57 UUDS 1950 menyatakan bahwa anggota DPR
dipilih oleh rakyat melalui pemilihan umum.
Tetapi pemerintah Sukiman juga tidak
berhasil menuntaskan pembahasan undang-undang pemilu tersebut. Selanjutnya UU
ini baru selesai dibahas oleh parlemen pada masa pemerintahan Wilopo dari PNI
pada tahun 1953. Maka lahirlah UU No. 7 Tahun 1953 tentang Pemilu. UU inilah
yang menjadi payung hukum Pemilu 1955 yang diselenggarakan secara langsung,
umum, bebas dan rahasia. Dengan demikian UU No. 27 Tahun 1948 tentang Pemilu
yang diubah dengan UU No. 12 tahun 1949 yang mengadopsi pemilihan bertingkat
(tidak langsung) bagi anggota DPR tidak berlaku lagi.
Patut dicatat dan dibanggakan bahwa
pemilu yang pertama kali tersebut berhasil diselenggarakan dengan aman, lancar,
jujur dan adil serta sangat demokratis. Pemilu 1955 bahkan mendapat pujian dari
berbagai pihak, termasuk dari negara-negara asing. Pemilu ini diikuti oleh
lebih 30-an partai politik dan lebih dari seratus daftar kumpulan dan calon
perorangan.
Yang menarik dari Pemilu 1955 adalah
tingginya kesadaran berkom-petisi secara sehat. Misalnya, meski yang menjadi
calon anggota DPR adalah perdana menteri dan menteri yang sedang memerintah, mereka
tidak menggunakan fasilitas negara dan otoritasnya kepada pejabat bawahan untuk
menggiring pemilih yang menguntungkan partainya. Karena itu sosok pejabat
negara tidak dianggap sebagai pesaing yang menakutkan dan akan memenangkan
pemilu dengan segala cara. Karena pemilu kali ini dilakukan untuk dua
keperluan, yaitu memilih anggota DPR dan memilih anggota Dewan Kons-tituante,
maka hasilnya pun perlu dipaparkan semuanya.
Sangat disayangkan, kisah sukses
Pemilu 1955 akhirnya tidak bisa dilanjutkan dan hanya menjadi catatan emas
sejarah. Pemilu pertama itu tidak berlanjut dengan pemilu kedua lima tahun
beri-kutnya, meskipun tahun 1958 Pejabat Presiden Sukarno sudah melantik
Panitia Pemilihan Indonesia II.
Yang terjadi kemudian adalah
berubahnya format politik dengan keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, sebuah
keputusan presiden untuk membubarkan Konstituante dan pernyataan kembali ke UUD
1945 yang diperkuat angan-angan Presiden Soekarno menguburkan partai-partai.
Dekrit itu kemudian mengakhiri rezim demokrasi dan mengawali otoriterianisme
kekuasaan di Indonesia, yang – meminjam istilah Prof. Ismail Sunny -- sebagai
kekuasaan negara bukan lagi mengacu kepada democracy by law, tetapi
democracy by decree.
Otoriterianisme pemerintahan
Presiden Soekarno makin jelas ketika pada 4 Juni 1960 ia membubarkan DPR hasil
Pemilu 1955, setelah sebelumnya dewan legislatif itu menolak RAPBN yang
diajukan pemerintah. Presiden Soekarno secara sepihak dengan senjata Dekrit 5
Juli 1959 membentuk DPR-Gotong Royong (DPR-GR) dan MPR Sementara (MPRS) yang
semua anggotanya diangkat presiden.
Pengangkatan keanggotaan MPR dan
DPR, dalam arti tanpa pemi-lihan, memang tidak bertentangan dengan UUD 1945.
Karena UUD 1945 tidak memuat klausul tentang tata cara memilih anggota DPR dan
MPR. Tetapi, konsekuensi pengangkatan itu adalah terkooptasi-nya kedua lembaga
itu di bawah presiden. Padahal menurut UUD 1945, MPR adalah pemegang kekuasaan
tertinggi, sedangkan DPR neben atau sejajar dengan presiden.
Sampai Presiden Soekarno
diberhentikan oleh MPRS melalui Sidang Istimewa bulan Maret 1967 (Ketetapan
XXXIV/MPRS/ 1967) setelah meluasnya krisis politik, ekonomi dan sosial
pascakudeta G 30 S/PKI yang gagal semakin luas, rezim yang kemudian dikenal
dengan sebutan Demokrasi Terpimpin itu tidak pernah sekalipun menyelenggarakan
pemilu. Malah tahun 1963 MPRS yang anggotanya diangkat menetapkan Soekarno,
orang yang mengangkatnya, sebagai presiden seumur hidup. Ini adalah satu bentuk
kekuasaan otoriter yang mengabaikan kemauan rakyat tersalurkan lewat pemilihan
berkala.
Pemilu 1971, Ketika Jenderal
Soeharto diangkat oleh MPRS menjadi pejabat Presiden menggantikan Bung Karno
dalam Sidang Istimewa MPRS 1967, ia juga tidak secepatnya menyelenggarakan
pemilu untuk mencari legitimasi kekuasaan transisi. Malah Ketetapan MPRS XI
Tahun 1966 yang mengamanatkan agar Pemilu bisa diselenggarakan dalam tahun
1968, kemudian diubah lagi pada SI MPR 1967, oleh Jenderal Soeharto diubah lagi
dengan menetapkan bahwa Pemilu akan diselenggarakan dalam tahun 1971.
Sebagai pejabat presiden Pak Harto
tetap menggunakan MPRS dan DPR-GR bentukan Bung Karno, hanya saja ia melakukan
pembersihan lembaga tertinggi dan tinggi negara tersebut dari sejumlah anggota
yang dianggap berbau Orde Lama.
Pada prakteknya Pemilu kedua baru
bisa diselenggarakan tanggal 5 Juli 1971, yang berarti setelah 4 tahun pak
Harto berada di kursi kepresidenan. Pada waktu itu ketentuan tentang kepartaian
(tanpa UU) kurang lebih sama dengan yang diterapkan Presiden Soekarno.
UU yang diadakan adalah UU tentang
pemilu dan susunan dan kedudukan MPR, DPR, dan DPRD. Menjelang pemilu 1971,
pemerintah bersama DPR GR menyelesaikan UU No. 15 Tahun 1969 tentang Pemilu dan
UU No. 16 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR dan DPRD. Penyelesaian UU itu
sendiri memakan waktu hampir tiga tahun.
Hal yang sangat signifikan yang
berbeda dengan Pemilu 1955 adalah bahwa para pejebat negara pada Pemilu 1971
diharuskan bersikap netral. Sedangkan pada Pemilu 1955 pejabat negara, termasuk
perdana menteri yang berasal dari partai bisa ikut menjadi calon partai secara
formal. Tetapi pada prakteknya pada Pemilu 1971 para pejabat pemerintah
berpihak kepada salah satu peserta Pemilu, yaitu Golkar. Jadi sesungguhnya
pemerintah pun merekayasa ketentuan-ketentuan yang menguntungkan Golkar seperti
menetapkan seluruh pegawai negeri sipil harus menyalurkan aspirasinya kepada
salah satu peserta Pemilu itu.
Dalam hubungannya dengan pembagian
kursi, cara pembagian yang digunakan dalam Pemilu 1971 berbeda dengan Pemilu
1955. Dalam Pemilu 1971, yang menggunakan UU No. 15 Tahun 1969 sebagai dasar,
semua kursi terbagi habis di setiap daerah pemilihan. Cara ini ternyata mampu
menjadi mekanisme tidak langsung untuk mengurangi jumlah partai yang meraih
kursi dibandingkan penggunaan sistem kombinasi. Tetapi, kelemahannya sistem
demiki-an lebih banyak menyebabkan suara partai terbuang percuma.
Jelasnya, pembagian kursi pada
Pemilu 1971 dilakukan dalam tiga tahap, ini dalam hal ada partai yang melakukan
stembus accoord. Tetapi di daerah pemilihan yang tidak terdapat partai
yang melakukan stembus acccord, pembagian kursi hanya dilakukan dalam
dua tahap.
Tahap pembagian kursi pada Pemilu
1971 adalah sebagai berikut. Pertama, suara partai dibagi dengan kiesquotient
di daerah pemi-lihan. Tahap kedua, apabila ada partai yang melakukan stembus
accoord, maka jumlah sisa suara partai-partai yang menggabungkan sisa suara
itu dibagi dengan kiesquotient. Pada tahap berikutnya apabila masih ada
kursi yang tersisa masing-masing satu kursi diserahkan kepada partai yang
meraih sisa suara terbesar, termasuk gabungan sisa suara partai yang melakukan stembus
accoord dari perolehan kursi pembagian tahap kedua. Apabila tidak ada
partai yang melakukan stembus accoord, maka setelah pembagian pertama,
sisa kursi dibagikan langsung kepada partai yang memiliki sisa suara terbesar.
Pemilu 1977, 1982, 1987, 1992, dan
1997, Setelah
1971, pelaksanaan Pemilu yang periodik dan teratur mulai terlaksana. Pemilu
ketiga diselenggarakan 6 tahun lebih setelah Pemilu 1971, yakni tahun 1977,
setelah itu selalu terjadwal sekali dalam 5 tahun. Dari segi jadwal sejak
itulah pemilu teratur dilaksanakan.
Satu hal yang nyata perbedaannya
dengan Pemilu-pemilu sebelumnya adalah bahwa sejak Pemilu 1977 pesertanya jauh
lebih sedikit, dua parpol dan satu Golkar. Ini terjadi setelah sebelumnya
pemerintah bersama-sama dengan DPR berusaha menyederhanakan jumlah partai
dengan membuat UU No. 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golkar. Kedua
partai itu adalah Partai Persatuan Pembangunan atau PPP dan Partai Demokrasi
Indonesia atau PDI) dan satu Golongan Karya atau Golkar. Jadi dalam 5 kali
Pemilu, yaitu Pemilu 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997 pesertanya hanya tiga
tadi.
Hasilnya pun sama, Golkar selalu
menjadi pemenang, sedangkan PPP dan PDI menjadi pelengkap atau sekedar ornamen.
Golkar bahkan sudah menjadi pemenang sejak Pemilu 1971. Keadaan ini secara
lang-sung dan tidak langsung membuat kekuasaan eksekutif dan legislatif berada
di bawah kontrol Golkar. Pendukung utama Golkar adalah birokrasi sipil dan
militer.
Setelah Presiden Soeharto
dilengserkan dari kekuasaannya pada tanggal 21 Mei 1998 jabatan presiden
digantikan oleh Wakil Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie. Atas desakan publik,
Pemilu yang baru atau dipercepat segera dilaksanakan, sehingga hasil-hasil
Pemilu 1997 segera diganti. Kemudian ternyata bahwa Pemilu dilaksanakan pada 7
Juni 1999, atau 13 bulan masa kekuasaan Habibie. Pada saat itu untuk sebagian
alasan diadakannya Pemilu adalah untuk memperoleh pengakuan atau kepercayaan
dari publik, termasuk dunia internasional, karena pemerintahan dan
lembaga-lembaga lain yang merupakan produk Pemilu 1997 sudah dianggap tidak
dipercaya. Hal ini kemudian dilanjutkan dengan penyelenggaraan Sidang Umum MPR
untuk memilih presiden dan wakil presiden yang baru.
Ini berarti bahwa dengan pemilu
dipercepat, yang terjadi bukan hanya bakal digantinya keanggotaan DPR dan MPR
sebelum selesai masa kerjanya, tetapi Presiden Habibie sendiri memangkas masa
jabatannya yang seharusnya berlangsung sampai tahun 2003, suatu kebijakan dari
seorang presiden yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Sebelum menyelenggarakan Pemilu yang
dipercepat itu, pemerintah mengajukan RUU tentang Partai Politik, RUU tentang
Pemilu dan RUU tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR dan DPRD. Ketiga draft UU
ini disiapkan oleh sebuah tim Depdagri, yang disebut Tim 7, yang diketuai oleh
Prof. Dr. M. Ryaas Rasyid (Rektor IIP Depdagri, Jakarta).
Setelah RUU disetujui DPR dan
disahkan menjadi UU, presiden membentuk Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang
anggota-anggotanya adalah wakil dari partai politik dan wakil dari pemerintah.
Satu hal yang secara sangat menonjol membedakan Pemilu 1999 dengan
Pemilu-pemilu sebelumnya sejak 1971 adalah Pemilu 1999 ini diikuti oleh banyak
sekali peserta. Ini dimungkinkan karena adanya kebebasan untuk mendirikan
partai politik. Peserta Pemilu kali ini adalah 48 partai. Ini sudah jauh lebih
sedikit dibandingkan dengan jumlah partai yang ada dan terdaftar di Departemen
Kehakiman dan HAM, yakni 141 partai.
Dalam sejarah Indonesia tercatat,
bahwa setelah pemerintahan Perdana Menteri Burhanuddin Harahap, pemerintahan
Reformasi inilah yang mampu menyelenggarakan pemilu lebih cepat setelah proses
alih kekuasaan. Burhanuddin Harahap berhasil menyelenggarakan pemilu hanya
sebulan setelah menjadi Perdana Menteri menggantikan Ali Sastroamidjojo, meski
persiapan-persiapannya sudah dijalankan juga oleh pemerintahan sebelum-nya.
Habibie menyelenggarakan pemilu setelah 13 bulan sejak ia naik ke kekuasaan,
meski persoalan yang dihadapi Indonesia bukan hanya krisis politik, tetapi yang
lebih parah adalah krisis ekonomi, sosial dan penegakan hukum serta tekanan
internasional.
Dalam pemerintahan transisi itulah
lahir paket UU Pemilu No 2, 3 dan 4 yang mengatur pemilu secara demokratis.
Sebutan LUBER (Langsung Umum, Bebas dan Rahasia) kemudian ditambah dengan
JURDIL (Jujur dan Adil) dalam pengaturan dan pelaksanaan pemilu yang
dilaksanakan tahun 1999. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan lahir sebagai
peraih suara terbanyak pada pesta demokrasi tersebut menggantikan posisi Golkar
yang berkuasa selama 3 dasa warsa.
Sistem dan proses pemilu sejak saat
itu bisa dibicarakan secara terbuka, sehingga setiap orang dapat mengeluarkan
pendapatnya tanpa ketakutan akan mendapat sanksi atau dihukum oleh karenanya.
Peristiwa Sidang Istimewa MPR yang melengserkan Presiden Abdurahman Wahid
sebagai peristiwa pertama pasca reformasi terjadi pada periode parlemen hasil
pemilu 1999. Megawati diangkat menjadi presiden melalui Sidang SI tersebut,
namun system pemerintahan demokrasi tak berubah banyak setelah itu.
Pemilu yang dilaksanakan tahun 2004
menggunakan UU Pemilu yang pada intinya cukup memberikan kebebasan berpendapat
kepada Warga Negara, sehingga secara bebas pula rakyat memilih Presiden Soesilo
Bambang Yudhoyono secara langsung untuk pertama kalinya mengalahkan Megawati
dan calon presiden lainya. Pemilu 2009 mengulang kemenangan bagi Presiden
Soesilo Bambang Yudhoyono yang diawali dengan kemenangan Partai Demokrat,
yakni partai yang mengusung pencalonannya sebagai presiden.
Perjalanan demokrasi dengan
pelaksanaan pemilu yang LUBER dan JURDIL ternyata tak menghasilkan pemerintahan
sebagaimana yang diharapkan, dalam hal inilah sejarah bangsa-bangsa menyatakan
bahwa proses demokratisasi dengan pemilu yang baik dan berkualitas memerlukan
sebuah proses pembelajaran, yang kadang menjadi permasalahan-permasalahan sulit
dan pelik, sebagaimana yang kita saksikan saat ini ketidak puasan public atas
pemerintah dan penyelenggara pemilu sangat besar.
Untuk itulah diperlukan pemikiran
dan upaya keras untuk melahirkan sebuah system demokrasi dengan pelaksanaan
pemilu yang semakin baik. Penyederhanaan pemilu dan pembentukan penyelenggara
pemilu yang kuat dan akuntable menjadi sebuah keniscayaan untuk menjawab
persoalan tersebut, bahkan hal-hal teknis seperti sistim pendataan pemilih,
proses pencalonan dan pelaksanaan pemungutan dan penghitungan suara sampai
rekapitulasi secara berjenjang perlu dipikirkan bukan sekadar sebuah masalah
teknis kepemiluan.
2.
HASIL
PEMILU DI INDONESIA
Pemilu untuk anggota Dewan
Konstituante dilakukan tanggal 15 Desember 1955. Jumlah kursi anggota
Konstituante dipilih sebanyak 520, tetapi di Irian Barat yang memiliki jatah 6
kursi tidak ada pemilihan. Maka kursi yang dipilih hanya 514. Hasil pemilihan
anggota Dewan Konstituante menunjukkan bahwa PNI, NU dan PKI meningkat
dukungannya, sementara Masyumi, meski tetap menjadi pemenang kedua, perolehan
suaranya merosot 114.267 dibanding-kan suara yang diperoleh dalam pemilihan
anggota DPR.
No.
|
Partai/Nama Daftar
|
Suara
|
%
|
Kursi
|
|
1.
|
Partai
Nasional Indonesia (PNI)
|
9.070.218
|
23,97
|
119
|
|
2.
|
Masyumi
|
7.789.619
|
20,59
|
112
|
|
3.
|
Nahdlatul
Ulama (NU)
|
6.989.333
|
18,47
|
91
|
|
4.
|
Partai
Komunis Indonesia (PKI)
|
6.232.512
|
16,47
|
80
|
|
5.
|
Partai
Syarikat Islam Indonesia (PSII)
|
1.059.922
|
2,80
|
16
|
|
6.
|
Partai
Kristen Indonesia (Parkindo)
|
988.810
|
2,61
|
16
|
|
7.
|
Partai
Katolik
|
748.591
|
1,99
|
10
|
|
8.
|
Partai
Sosialis Indonesia (PSI)
|
695.932
|
1,84
|
10
|
|
9.
|
Ikatan Pendukung
Kemerdekaan Indonesia (IPKI)
|
544.803
|
1,44
|
8
|
|
10.
|
Pergerakan
Tarbiyah Islamiyah (Perti)
|
465.359
|
1,23
|
7
|
|
11.
|
Partai
Rakyat Nasional (PRN)
|
220.652
|
0,58
|
3
|
|
12.
|
Partai
Buruh
|
332.047
|
0,88
|
5
|
|
13.
|
Gerakan
Pembela Panca Sila (GPPS)
|
152.892
|
0,40
|
2
|
|
14.
|
Partai
Rakyat Indonesia (PRI)
|
134.011
|
0,35
|
2
|
|
15.
|
Persatuan
Pegawai Polisi RI (P3RI)
|
179.346
|
0,47
|
3
|
|
16.
|
Murba
|
248.633
|
0,66
|
4
|
|
17.
|
Baperki
|
160.456
|
0,42
|
2
|
|
18.
|
Persatuan
Indoenesia Raya (PIR) Wongsonegoro
|
162.420
|
0,43
|
2
|
|
19.
|
Grinda
|
157.976
|
0,42
|
2
|
|
20.
|
Persatuan
Rakyat Marhaen Indonesia (Permai)
|
164.386
|
0,43
|
2
|
|
21.
|
Persatuan
Daya (PD)
|
169.222
|
0,45
|
3
|
|
22.
|
PIR
Hazairin
|
101.509
|
0,27
|
2
|
|
23.
|
Partai
Politik Tarikat Islam (PPTI)
|
74.913
|
0,20
|
1
|
|
24.
|
AKUI
|
84.862
|
0,22
|
1
|
|
25.
|
Persatuan
Rakyat Desa (PRD)
|
39.278
|
0,10
|
1
|
|
26.
|
Partai
Republik Indonesis Merdeka (PRIM)
|
143.907
|
0,38
|
2
|
|
27.
|
Angkatan
Comunis Muda (Acoma)
|
55.844
|
0,15
|
1
|
|
28.
|
R.Soedjono
Prawirisoedarso
|
38.356
|
0,10
|
1
|
|
29.
|
Gerakan
Pilihan Sunda
|
35.035
|
0,09
|
1
|
|
30.
|
Partai
Tani Indonesia
|
30.060
|
0,08
|
1
|
|
31.
|
Radja
Keprabonan
|
33.660
|
0,09
|
1
|
|
32.
|
Gerakan
Banteng Republik Indonesis (GBRI)
|
39.874
|
0,11
|
|
|
33.
|
PIR NTB
|
33.823
|
0,09
|
1
|
|
34.
|
L.M.Idrus
Effendi
|
31.988
|
0,08
|
1
|
|
|
lain-lain
|
426.856
|
1,13
|
|
|
Jumlah
|
37.837.105
|
|
514
|
|
cara pembagian kursi dalam Pemilu
1971 menyebabkan tidak selarasnya hasil perolehan suara secara nasional dengan
perolehan keseluruhan kursi oleh suatu partai. Contoh paling gamblang adalah
bias perolehan kursi antara PNI dan Parmusi. PNI yang secara nasional suaranya
lebih besar dari Parmusi, akhirnya memperoleh kursi lebih sedikit dibandingkan
Parmusi. Untuk lebih jelasnya lihat tabel di bawah ini.
No.
|
Partai
|
Suara
|
%
|
Kursi
|
1.
|
Golkar
|
34.348.673
|
62,82
|
236
|
2.
|
NU
|
10.213.650
|
18,68
|
58
|
3.
|
Parmusi
|
2.930.746
|
5,36
|
24
|
4.
|
PNI
|
3.793.266
|
6,93
|
20
|
5.
|
PSII
|
1.308.237
|
2,39
|
10
|
6.
|
Parkindo
|
733.359
|
1,34
|
7
|
7.
|
Katolik
|
603.740
|
1,10
|
3
|
8.
|
Perti
|
381.309
|
0,69
|
2
|
9.
|
IPKI
|
338.403
|
0,61
|
-
|
10.
|
Murba
|
48.126
|
0,08
|
-
|
Jumlah
|
54.669.509
|
100,00
|
360
|
Sekedar untuk perbandingan,
seandainya pembagian kursi peroleh-an suara partai-partai pada Pemilu 1971
dilakukan dengan sistem kombinasi sebagaimana digunakan dalam Pemilu 1955,
dengan mengabaikan stembus accoord 4 partai Islam yang mengikuti Pemilu
1971, hasilnya akan terlihat seperti pada tabel di bawah ini.
Pemungutan suara Pemilu 1977
dilakukan 2 Mei 1977. Cara pembagian kursi masih dilakukan seperti dalam Pemilu
1971, yakni mengikuti sistem proporsional di daerah pemilihan. Dari 70.378.750
pemilih, suara yang sah mencapai 63.998.344 suara atau 90,93 persen. Dari suara
yang sah itu Golkar meraih 39.750.096 suara atau 62,11 persen. Namun perolehan
kursinya menurun menjadi 232 kursi atau kehilangan 4 kursi dibandingkan Pemilu
1971.
Pada Pemilu 1977 suara PPP naik di
berbagai daerah, bahkan di DKI Jakarta dan DI Aceh mengalahkan Golkar. Secara
nasional PPP berhasil meraih 18.743.491 suara, 99 kursi atau naik 2,17 persen,
atau bertambah 5 kursi dibanding gabungan kursi 4 partai Islam dalam Pemilu
1971. Kenaikan suara PPP terjadi di banyak basis-basis eks Masjumi. Ini seiring
dengan tampilnya tokoh utama Masjumi mendukung PPP. Tetapi kenaikan suara PPP
di basis-basis Masjumi diikuti pula oleh penurunan suara dan kursi di
basis-basis NU, sehingga kenaikan suara secara nasional tidak begitu besar.
PPP berhasil menaikkan 17 kursi dari
Sumatera, Jakarta, Jawa Barat dan Kalimantan, tetapi kehilangan 12 kursi di
Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur dan Sulawesi Selatan. Secara nasional
tambahan kursi hanya 5.
PDI juga merosot perolehan kursinya
dibanding gabungan kursi partai-partai yang berfusi sebelumnya, yakni hanya
memperoleh 29 kursi atau berkurang 1 kursi di banding gabungan suara PNI,
Parkindo dan Partai Katolik. Selengkapnya perolehan kursi dan suara tersebut bisa
dilihat pada tabel di bawah ini.
No.
|
Partai
|
Suara
|
%
|
Kursi
|
% (1971)
|
Keterangan
|
1.
|
Golkar
|
39.750.096
|
62,11
|
232
|
62,80
|
- 0,69
|
2.
|
PPP
|
18.743.491
|
29,29
|
99
|
27,12
|
+ 2,17
|
3.
|
PDI
|
5.504.757
|
8,60
|
29
|
10,08
|
- 1,48
|
Jumlah
|
63.998.344
|
100,00
|
360
|
100,00
|
|
Pemungutan suara Pemilu 1982
dilangsungkan secara serentak pada tanggal 4 Mei 1982. Pada Pemilu ini
perolehan suara dan kursi secara nasional Golkar meningkat, tetapi gagal
merebut kemenangan di Aceh. Hanya Jakarta dan Kalimantan Selatan yang berhasil
diambil Golkar dari PPP. Secara nasional Golkar berhasil merebut tambahan 10
kursi dan itu berarti kehilangan masing-masing 5 kursi bagi PPP dan PDI Golkar
meraih 48.334.724 suara atau 242 kursi. Adapun cara pembagian kursi pada Pemilu
ini tetap mengacu pada ketentuan Pemilu 1971.
No.
|
Partai
|
Suara DPR
|
%
|
Kursi
|
% (1977)
|
Keterangan
|
1.
|
Golkar
|
48.334.724
|
64,34
|
242
|
62,11
|
+ 2,23
|
2.
|
PPP
|
20.871.880
|
27,78
|
94
|
29,29
|
- 1,51
|
3.
|
PDI
|
5.919.702
|
7,88
|
24
|
8,60
|
- 0,72
|
Jumlah
|
75.126.306
|
100,00
|
364
|
100,00
|
|
Sampai Pemilu 1997 ini cara
pembagian kursi yang digunakan tidak berubah, masih menggunakan cara yang sama
dengan Pemilu 1971, 1977, 1982, 1987, dan 1992. Pemungutan suara
diselenggarakan tanggal 29 Mei 1997. Hasilnya menunjukkan bahwa setelah pada
Pemilu 1992 mengalami kemerosotan, kali ini Golkar kembali merebut suara
pendukungnnya. Perolehan suaranya mencapai 74,51 persen, atau naik 6,41.
Sedangkan perolehan kursinya meningkat menjadi 325 kursi, atau bertambah 43
kursi dari hasil pemilu sebelumnya.
PPP juga menikmati hal yang sama,
yaitu meningkat 5,43 persen. Begitu pula untuk perolehan kursi. Pada Pemilu
1997 ini PPP meraih 89 kursi atau meningkat 27 kursi dibandingkan Pemilu 1992.
Dukungan terhadap partai itu di Jawa sangat besar.
Sedangkan PDI, yang mengalami
konflik internal dan terpecah antara PDI Soerjadi dengan Megawati Soekarnoputri
setahun menjelang pemilu, perolehan suaranya merosot 11,84 persen, dan hanya
mendapat 11 kursi, yang berarti kehilangan 45 kursi di DPR dibandingkan Pemilu
1992.
No.
|
Partai
|
Suara
|
%
|
Kursi
|
% (1992)
|
Keterangan
|
1.
|
Golkar
|
84.187.907
|
74,51
|
325
|
68,10
|
+ 6,41
|
2.
|
PPP
|
25.340.028
|
22,43
|
89
|
17,00
|
+ 5,43
|
3.
|
PDI
|
3.463.225
|
3,06
|
11
|
14,90
|
- 11,84
|
Jumlah
|
112.991.150
|
100,00
|
425
|
100,00
|
|
Meskipun masa persiapannya tergolong
singkat, pelaksanaan pemungutan suara pada Pemilu 1999 ini bisa dilakukan
sesuai jadwal, yakni tanggal 7 Juni 1999. Tidak seperti yang diprediksikan dan
dikhawatirkan banyak pihak sebelumnya, ternyata Pemilu 1999 bisa terlaksana
dengan damai, tanpa ada kekacauan yang berarti. Hanya di beberapa Daerah
Tingkat II di Sumatera Utara yang pelaksanaan pemungutan suaranya terpaksa
diundur suara satu pekan. Itu pun karena adanya keterlambatan atas datangnya
perlengkapan pemungutan suara.
Tetapi tidak seperti pada pemungutan
suara yang berjalan lancar, tahap penghitungan suara dan pembagian kursi pada
Pemilu kali ini sempat menghadapi hambatan. Pada tahap penghitungan suara, 27
partai politik menolak menandatangani berita acara perhitungan suara dengan
dalih Pemilu belum jurdil (jujur dan adil). Sikap penolakan tersebut
ditunjukkan dalam sebuah rapat pleno KPU. Ke-27 partai tersebut adalah sebagai
berikut:
Partai yang Tidak Menandatangani Hasil Pemilu 1999.
Nomor
|
Nama Partai
|
1.
|
Partai
Keadilan
|
2.
|
PNU
|
3.
|
PBI
|
4.
|
PDI
|
5.
|
Masyumi
|
6.
|
PNI Supeni
|
7.
|
Krisna
|
8.
|
Partai KAMI
|
9.
|
PKD
|
10.
|
PAY
|
11.
|
Partai MKGR
|
12.
|
PIB
|
13.
|
Partai SUNI
|
14.
|
PNBI
|
15.
|
PUDI
|
16.
|
PBN
|
17.
|
PKM
|
18.
|
PND
|
19
|
PADI
|
20.
|
PRD
|
21.
|
PPI
|
22.
|
PID
|
23.
|
Murba
|
24.
|
SPSI
|
25.
|
PUMI
|
26
|
PSP
|
27.
|
PARI
|
Karena ada penolakan, dokumen rapat
KPU kemudian diserahkan pimpinan KPU kepada presiden. Oleh presiden hasil rapat
dari KPU tersebut kemudian diserahkan kepada Panwaslu (Panitia Pengawas
Pemilu). Panwaslu diberi tugas untuk meneliti keberatan-keberatan yang diajukan
wakil-wakil partai di KPU yang berkeberatan tadi. Hasilnya, Panwaslu memberikan
rekomen-dasi bahwa pemilu sudah sah. Lagipula mayoritas partai tidak
menyertakan data tertulis menyangkut keberatan-keberatannya. Presiden kemudian
juga menyatakan bahwa hasil pemilu sah. Hasil final pemilu baru diketahui
masyararakat tanggal 26 Juli 1999.
Setelah disahkan oleh presiden, PPI
(Panitia Pemilihan Indonesia) langsung melakukan pembagian kursi. Pada tahap
ini juga muncul masalah. Rapat pembagian kursi di PPI berjalan alot. Hasil
pembagian kursi yang ditetapkan Kelompok Kerja PPI, khususnya pembagian kursi
sisa, ditolak oleh kelompok partai Islam yang melakukan stembus accoord.
Hasil Kelompok Kerja PPI menunjukkan, partai Islam yang melakukan stembus
accoord hanya mendapatkan 40 kursi. Sementara Kelompok stembus accoord
8 partai Islam menyatakan bahwa mereka berhak atas 53 dari 120 kursi sisa.
Perbedaan pendapat di PPI tersebut
akhirnya diserahkan kepada KPU. Di KPU perbedaan pendapat itu akhirnya
diselesaikan melalui voting dengan dua opsi. Opsi pertama, pembagian kursi sisa
dihitung dengan memperhatikan suara stembus accoord, sedangkan opsi
kedua pembagian tanpa stembus accoord. Hanya 12 suara yang mendukung
opsi pertama, sedangkan yang mendukung opsi kedua 43 suara. Lebih dari 8 partai
walk out. Ini berarti bahwa pembagian kursi dilakukan tanpa memperhitungkan
lagi stembus accoord.
Berbekal keputusan KPU tersebut, PPI
akhirnya dapat melakukan pembagian kursi hasil pemilu pada tanggal 1 September
1999. Hasil pembagian kursi itu menunjukkan, lima partai besar memborong 417
kursi DPR atau 90,26 persen dari 462 kursi yang diperebutkan.
Sebagai pemenangnya adalah PDI-P
yang meraih 35.689.073 suara atau 33,74 persen dengan perolehan 153 kursi.
Golkar memperoleh 23.741.758 suara atau 22,44 persen sehingga mendapatkan 120
kursi atau kehilangan 205 kursi dibanding Pemilu 1997. PKB dengan 13.336.982
suara atau 12,61 persen, mendapatkan 51 kursi. PPP dengan 11.329.905 suara atau
10,71 persen, mendapatkan 58 kursi atau kehilangan 31 kursi dibanding Pemilu
1997. PAN meraih 7.528.956 suara atau 7,12 persen, mendapatkan 34 kursi. Di
luar lima besar, partai lama yang masih ikut, yakni PDI merosot tajam dan hanya
meraih 2 kursi dari pembagian kursi sisa, atau kehilangan 9 kursi dibanding
Pemilu 1997. Selengkapnya hasil perhitungan pembagian kursi itu seperti terlihat
dalam tabel di bawah.
No.
|
Nama Partai
|
Suara DPR
|
Kursi Tanpa
SA
|
Kursi Dengan
SA
|
1.
|
PDIP
|
35.689.073
|
153
|
154
|
2.
|
Golkar
|
23.741.749
|
120
|
120
|
3.
|
PPP
|
11.329.905
|
58
|
59
|
4.
|
PKB
|
13.336.982
|
51
|
51
|
5.
|
PAN
|
7.528.956
|
34
|
35
|
6.
|
PBB
|
2.049.708
|
13
|
13
|
7.
|
Partai Keadilan
|
1.436.565
|
7
|
6
|
8.
|
PKP
|
1.065.686
|
4
|
6
|
9.
|
PNU
|
679.179
|
5
|
3
|
10.
|
PDKB
|
550.846
|
5
|
3
|
11.
|
PBI
|
364.291
|
1
|
3
|
12.
|
PDI
|
345.720
|
2
|
2
|
13.
|
PP
|
655.052
|
1
|
1
|
14.
|
PDR
|
427.854
|
1
|
1
|
15.
|
PSII
|
375.920
|
1
|
1
|
16.
|
PNI Front Marhaenis
|
365.176
|
1
|
1
|
17.
|
PNI Massa Marhaen
|
345.629
|
1
|
1
|
18.
|
IPKI
|
328.654
|
1
|
1
|
19.
|
PKU
|
300.064
|
1
|
1
|
20.
|
Masyumi
|
456.718
|
1
|
-
|
21.
|
PKD
|
216.675
|
1
|
-
|
22.
|
PNI Supeni
|
377.137
|
-
|
-
|
23
|
Krisna
|
369.719
|
-
|
-
|
24.
|
Partai KAMI
|
289.489
|
-
|
-
|
25.
|
PUI
|
269.309
|
-
|
-
|
26.
|
PAY
|
213.979
|
-
|
-
|
27.
|
Partai Republik
|
328.564
|
-
|
-
|
28.
|
Partai MKGR
|
204.204
|
-
|
-
|
29.
|
PIB
|
192.712
|
-
|
-
|
30.
|
Partai SUNI
|
180.167
|
-
|
-
|
31.
|
PCD
|
168.087
|
-
|
-
|
32.
|
PSII 1905
|
152.820
|
-
|
-
|
33.
|
Masyumi Baru
|
152.589
|
-
|
-
|
34.
|
PNBI
|
149.136
|
-
|
-
|
35.
|
PUDI
|
140.980
|
-
|
-
|
36.
|
PBN
|
140.980
|
-
|
-
|
37.
|
PKM
|
104.385
|
-
|
-
|
38.
|
PND
|
96.984
|
-
|
-
|
39.
|
PADI
|
85.838
|
-
|
-
|
40.
|
PRD
|
78.730
|
-
|
-
|
41.
|
PPI
|
63.934
|
-
|
-
|
42.
|
PID
|
62.901
|
-
|
-
|
43.
|
Murba
|
62.006
|
-
|
-
|
44.
|
SPSI
|
61.105
|
-
|
-
|
45.
|
PUMI
|
49.839
|
-
|
-
|
46
|
PSP
|
49.807
|
-
|
-
|
47.
|
PARI
|
54.790
|
-
|
-
|
48.
|
PILAR
|
40.517
|
-
|
-
|
Jumlah
|
105.786.661
|
462
|
462
|
Catatan:
1. Jumlah suara partai yang tidak menghasilkan kursi mencapai 9.700.658. atau
9,17 persen dari suara yang sah.
2. Apabila pembagian kursi dilakukan dengan sistem kombinasi jumlah partai
yang mendapatkan kursi mencapai 37 partai dengan jumlah suara partai yang tidak
menghasilkan kursi hanya 706.447 atau 0,67 persen dari suara sah.
Cara pembagian kursi hasil pemilihan
kali ini tetap memakai sistem proporsional dengan mengikuti varian Roget. Dalam
sistem ini sebuah partai memperoleh kursi seimbang dengan suara yang
diperolehnya di daerah pemilihan, termasuk perolehan kursi berdasarkan the
largest remainder.
Tetapi cara penetapan calon terpilih
berbeda dengan Pemilu sebelumnya, yakni dengan menentukan ranking perolehan
suara suatu partai di daerah pemilihan. Apabila sejak Pemilu 1977 calon nomor
urut pertama dalam daftar calon partai otomatis terpilih apabila partai itu
mendapatkan kursi, maka kini calon terpillih ditetapkan berdasarkan suara
terbesar atau terba-nyak dari daerah di mana seseorang dicalonkan. Dengan demikian
seseorang calon, sebut saja si A, meski berada di urutan terbawah dari daftar
calon, kalau dari daerahnya partai mendapatkan suara terbesar, maka dialah yang
terpilih. Untuk cara penetapan calon terpilih berdasarkan perolehan suara di
Daerah Tingkat II ini sama dengan cara yang dipergunakan pada Pemilu 1971.
Bagaimanapun penyelenggaraan
Pemilu-pemilu tersebut merupakan pengalaman yang berharga. Sekarang, apakah
pengalaman itu akan bermanfaat atau tidak semuanya sangat tergantung pada
penggunaannya untuk masa-masa yang akan datang. Pemilu yang paling dekat adalah
Pemilu 2004. Pengalaman tadi akan bisa dikatakan berharga apabila Pemilu 2004
nanti memang lebih baik daripada Pemilu 1999. Pemilu 1999 untuk banyak hal
telah mendapat pujian dari berbagai pihak. Dengan pengalaman tersebut, sudah
seharusnyalah kalau Pemilu mendatang lebih baik lagi.
3.
PENUTUP
Kesimpulan kita adalah bahwa
Demokrasi dengan pelaksanaan pemilu yang baik adalah tanggungjawab semua pihak.
Beberapa hal penting yang harus ada untuk keperluan tersebut adalah:
1. Lahirnya peraturan
perundang-undangan yang memberikan ruang bagi akses dan partisipasi public
dalam pelaksanaan pemilu.
2. Penguatan kelembagaan penyelenggara
pemilu yang independen dan profesional harus menjadi usungan semua pihak.
3. Penyederhanaan system pemilu,
sehingga memudahkan partisipasi publik harus dibuat dengan baik. Lalu soal
rekrutmen penyelenggara pemilu dalam hal ini KPU juga menjadi hal yang sangat
penting.
Peran serta Partai politik untuk melakukan
pendidikan politik dan rekrutmen penyelenggara negara perlu diperkuat, sehingga
melahirkan pemimpin di setiap tingkatan yang capable dan memiliki legitimasi
yang kuat.
Langganan:
Postingan (Atom)